Aceh dari dulu sudah terkenal sebagai produsen terbesar ganja di Asia Tenggara, bahkan klaim "Daun surga Aceh" bagi ganja tersebut makin kental didengar pada level nasional dan internasional.
Hampir disetiap jengkal belantara Aceh dihiasi tanaman ganja. Menjamurnya tanaman yang dilarang di Indonesia tersebut, sangat didukung kondisi geografis, tanah subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik yang berkepanjangan dari sejak zaman penjajahan kolonial Belanda, pemberontakan DI-TII hingga GAM.
Pemerintah Aceh telah melarang penanaman ganja bagi masyarakat Aceh dan diganti dengan tanaman palawija dan tumbuhan lainnya. Program tersebut telah dicanangkan di Lamteuba, Aceh Besar, dengan menanam berbagai jenis tumbuhan lain.
Di balik harumnya tanaman ganja, ternyata memiliki banyak manfaat dan menyimpan sejuta kisah lain. Namun, ganja di Aceh hanya dikenal karena penyalahgunaannya (abuse) saja, yaitu dengan menghisap atau mengkonsumsinya saja. Sementara di luar negeri sana, tanaman ajaib ini sangat populer dan menjadi bagian dari hidup. Seperti bagi masyarakat Hindu India yang menggunakan ganja dalam ritual penyembahan terhadap Dewa Siwa. Begitu juga kaum Rastafarian di Jamaika yang sangat mengagungkan ganja dan dapat mendekatkan diri dengan Tuhan karenanya.
Di Aceh, ganja juga sudah menjadi bagian dari hidup. Masyarakat setempat, khususnya masyarakat yang menanami ganja, dengan keterbatasan teknologi dan sejuta keterpurukan lainnya, mengolah ganja secara tradisional. Dengan pengetahuan yang ada, masyarakat daerah meramunya menjadi bahan konsumsi sehari-hari.
Hampir tak ada orang Aceh yang tak pernah mencicipinya, ada yang menikmatinya melalui rokok, bumbu dapur, dodol, campuran kopi, hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, selebihnya dijual ke luar Aceh.
Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau.
Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo, gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan lainnya ialah tampee, pot, weed, dope.
Setelah bertahun-tahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan 'rokok enak,' yang lambat laun menjadi tradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar